Net Neutrality: Tinjauan Sosiologis tentang Netralitas Internet

Net neutrality adalah versi singkat dari istilah Network Neutrality. Di Indonesia, istilah tersebut sering diadopsi menjadi “Netralitas Internet”. Istilah net neutrality pertama kali digunakan oleh seorang Profesor Hukum di Colombia University Tim Wu dalam sebuah memo yang terbit pada 2002.

Belakangan ini, isu net neutrality kembali mengemuka. Artikel ini akan membahas tentang apa itu netralitas internet dan bagaimana pengaruhnya terhadap masa depan internet serta implikasinya bagi kehidupan sosial. Untuk mengetahui implikasi yang mungkin terjadi pada masyarakat, terutama kita para pengguna internet, tinjauan secara sosiologis perlu dikemukakan.

Pengetian net neutrality sebenarnya tidak serumit apa yang dibayangkan awam. Untuk memahaminya mudah saja. Kita, sebagai pengguna internet sebenarnya tidak akan kesulitan memahami apa yang dimaksud dengan netralitas internet. Saya akan coba ulas secara ringkas tentang apa itu net neutrality. Di akhir opini, saya akan diskusikan pendapat pribadi saya mengenai apakah internet itu seharusnya netral atau tidak.

Apa itu net neutrality?

Untuk memahaminya, kita perlu refleksikan apakah sejauh ini akses kita ke semua situs internet lancar-lancar saja dan ”gratis”? Apakah ada beberapa situs yang loadingnya lama ketika dibuka? Apakah situs yang loadingnya lama harus membayar uang ekstra ke penyedia layanan internet agar kecepatan akses situsnya menjadi kembali cepat? Tentu saja, kita asumsikan kita mendapat sinyal internet yang bagus dan pemerintah tidak memblokir situs yang kita akses. Apabila semuanya lancar, maka itulah net neutrality.

net neutralityPemahaman sederhana itu jelas belum cukup, namun merupakan awal yang baik. Pengertian netralitas internet perlu ditempatkan dalam perspektif khusus. Untuk itu, saya akan merujuk pada ilustrasi yang dikemukaan oleh sosiolog Whitney Erin Boesel yang pernah menulis esai tentang netralitas internet. Simak ilustrasinya berikut:

”Ada sebuah mitologi poluler di era digital, yaitu pada mulanya, Geeks menciptakan internet. Internet tidak memiliki regulasi dan hierarki. Geeks melihat ini sangat bagus. Informasi dan ide mengalir, inovasi membuahkan hasil. Sekarang, perusahaan penyedia layanan internet (Internet Service Provider – ISPs) memperlihatkan kerakusannya. ISPs ingin menghilangkan utopia digital (internet terbuka dan tanpa hierarki) yang sebenarnya tidak pernah ada. ISPs melawan perusahaan telekomunikasi dan menekan the Federal Communication Commission (lembaga negara yang membuat regulasi tentang internet – FCC) untuk mencabut net neutrality. Perusahaan dan para penyedia konten tidak setuju. Terjadilah benturan kepentingan. Kebanyakan dari benturan tersebut bukan atas persoalan prinsip atau ideologi, namun soal kekuasaan, profit dan kontrol.”

Dari ilustrasi di atas, kita bisa tarik ke wilayah yang lebih konkrit. Ada tiga kubu di sini; ISPs, FCC, dan Penyedia konten. Siapa saja mereka? Kita tahu konteksnya adalah Amerika. Saya coba tambahkan juga dalam konteks Indonesia.

♦ ISPs: Comcast, AT&T, Time Warner, Verizon, dll (Amerika); Biznet, Firstmedia, IndiHome, Indosat Ooredoo GIG, dll (Indonesia)

♦ FCC: Agensi independen yang dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat untuk mengatur telekomunikasi dengan radio, televisi, wire, satelit, dan kabel. Sejauh ini komunikasi via internet masuk dalam peraturan telekomunikasi sehingga menjadi subjek regulasi FCC.

♦ Penyedia konten digital: Google, Facebook, WordPress, Amazon, dll

Ide paling dasar dari munculnya isu net neutrality adalah, ISP yang Anda gunakan harus menyediakan kecepatan akses dan transmisi informasi yang merata dari dan ke device Anda. Netralitas internet artinya ISP yang Anda gunakan tidak mengistimewakan suatu website tertentu dan juga tidak mendiskriminasi suatu website tertentu. Jika suatu website mengalami loading yang lebih lama, padahal Anda mengakses melalui ISP yang sama disaat yang relatif bersamaan, maka boleh dibilang tidak ada net neutrality. Maka, kesetaraan akses internet adalah kuncinya.

Mengapa terjadi pro dan kontra terhadap net neutrality?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pahami dulu internet sebagai susunan atas dua komponen; informasi dan infrastruktur. Internet sebagai informasi adalah konten yang kita nikmati. Internet sebagai infrastruktur adalah perangkat, seperti kabel, wire, satelit, termasuk juga fiber yang menopang arus informasi atau konten.

Perusahaan penyedia layanan internet (ISPs) banyak jumlahnya. Mereka menyediakan infrastrukturnya. Dalam menyediakan infrastruktur, mereka bersaing satu sama lain. Sebagian ISPs adalah perusahaan yang dulunya telekomunikasi. Sebagaian lain perusahaan baru. Perusahaan telekomunikasi bisa dianggap pemain lama yang kini terjun ke dunia digital. Infrastruktur yang digunakan tentu saja infrastruktur lama. Misalnya, mereka lebih banyak menggunakan wire, ketimbang fiber.

Sementara itu, perusahaan penyedia konten digital juga saling bersaing. Saat ini infrastruktur komunikasi lebih banyak beralih ke digital, infrastruktur telekomunikasi yang dimiliki ISPs mengalami penurunan. Lihat saja, Anda lebih sering telepon dan berinteraksi berinteraksi menggunakan fitur call di Whatsaap ketimbang telepon langsung di Hp, misalnya. Perusahaan telekomunikasi beralih ke digital.

Dengan diterapkannya net neutrality, satu kubu diuntungkan, kubu lain dirugikan. Begitu pula sebaliknya. Penghapusan aturan net neutrality oleh FCC akan menguntungkan ISPs, dan merugikan penyedia konten, termasuk pengguna internet seperti Anda. Maka, Anda pun cenderung akan mendukung net neutrality. ISPs diuntungkan karena leluasa menerapkan tarif kepada perusahaan penyedia konten seperti Google atau Facebook agar lebih cepat loading ketika diakses pengguna.

Jelas di dini, tidak semua penyedia konten digital mendukung net neutrality. Bahkan perusahaan penyedia konten yang sudah besar cenderung akan menolak apabila orientasi utamanya pada akumulasi profit. Perusahaan besar penyedia konten digital seperti Google, Facebook, dan Amazon bisa saja menolak net neutrality karena mereka mampu membayar ISPs agar akses terhadap situs mereka lancar dan cepat. Sementara perusahaan rintisan yang tidak mampu membayar akan kalah bersaing karena website mereka loading terlalu lama. Menghilangkan aturan net neutrality bisa menguntungkan perusahan besar penyedia konten karena berkurangnya perusahaan kompetitor.

Tinjauan Sosiologis

Pertanyaan sosiologi yang bisa diajukan di sini cukup sederhana; apakah net neutrality itu ada atau pernah ada? Bahkan seorang blogger pun harus memilih paket hosting yang lebih mahal untuk mendapat layanan yang lebih bagus, seperti kapasitas website yang lebih besar dan akses yang lebih cepat. Artinya, sudah ada stratifikasi antara mereka yang bayar mahal dengan mereka yang hanya mampu beli hosting murah.

Diskusi tentang net neutrality semestinya diletakkan pada konteks yang lebih luas dan berorientasi ke masa depan. Whitney Elin Boesel menyarankan sebuah pertanyaan penting yang pertama kali harus dijawab ketika membahas tentang net neutrality:

”masa depan internet seperti apa yang ingin kita bangun?”

Apakah kita ingin internet di masa depan sebagai ”open internet”, dimana tidak hanya kesetaraan akses internet yang kita dapat, tapi juga berkurangnya kesenjangan antara mereka yang memiliki akses internet dengan mereka yang tidak? Dengan kata lain, gap yang membentuk digital divide bisa dikurangi? Net neutrality adalah open internet, awal dari utopia era informasi yang dikenal dengan istilah ”open society” atau masyarakat terbuka.

Isu terbaru yang beredar saat ini, yaitu tahun 2017, FCC akan mencabut regulasi net neutrality. Ini merupakan sebuah kemunduran tentunya. Kita harus berpikir besar, tidak hanya terpaku pada penerapan teknis aturan net neutrality, meskipun semua tau itu penting.

Misalnya, menurut Boesel, sekalipun regulasi net neutrality diterapkan sebagaimana tahun 2014, apakah bisa dikatakan ”netralitas internet eksis” ketika netizen saling bully dengan netizen lainnya? Apakah bisa dikatakan ”net neutrality eksis” ketika netizen yang memposting laporan investigasinya di intenet mendapat ancaman pembunuhan, hingga ia resign dari pekerjaannya karena ketakutan? Net neutrality tidak akan dirasakan implikasi positifnya tanpa didahului terwujudnya ide tentang masyarakan terbuka.

Boesel menyimpukan,

”jika kita menghendaki net neutrality, kita harus menekan FCC untuk mengadopsi aturan yang mendukung net neutrality. Namun, kita tidak akan pernah mendapatkan open internet sampai kita terlebih dahulu memiliki open society”.

Netralitas internet lebih relevan dilihat sebagai tipe ideal yang belum pernah terwujud seutuhnya. Tetapi, konsepsi tentang masyarakat terbuka juga sulit terwujud tanpa cita-cita masa depan internet yang netral.